Baca Selengkapnya Di : http://indonesianblog-jmk.blogspot.com/2012/04/cara-membuat-link-otomatis-ketika.html#ixzz2cOCvfD00 Orang Muda Katolik: Memaknai Hari Kemerdekaan RI

Senin, 19 Agustus 2013

Memaknai Hari Kemerdekaan RI

Setiap tanggal 17 Agustus, kita, masyarakat Indonesia, merayakan syukur atas kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan memiliki kata dasar merdeka. Menurut KBBI, merdeka berarti Pertama, bebas (dari perhambaan, penjajahan), atau berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Merdeka berarti bebas dari perhambaan atau penjajahan. Inilah yang dialami masyarakat Indonesia melalui kisah sejarahnya. Sejarah kemerdekaan yang melukiskan suatu harapan akan kehidupan yang lebih baik di waktu-waktu yang akan datang. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Indonesia, melalui usaha para pejuang dan pendahulu kita, telah membuka jalan kehidupan baru. Kehidupan yang bebas dari penjajahan bangsa lain. Sejak kemerdekaan itu, kita terus bertumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang mandiri, yakni bangsa yang memperjuangkan kehidupan yang merdeka, mapan, sejahtera tanpa belenggu bangsa lain.



Realitas kemerdekaan saat ini

Apakah kita benar-benar merdeka? Jawabannya bisa Ya bisa TIDAK. Indonesia telah merdeka, kita semua meng-amini-nya. Merdeka dari penjajahan dan belenggu bangsa lain. Akan tetapi kita jangan berhenti melihat kemerdekaan dari definisi itu saja. Kita dapat memperluas cara pandang kita mengenai kemerdekaan. Kalau seorang teolog, Günthör melihat perang sebagai peristiwa penghinaan terhadap martabat manusia. Kita bisa melihat penghinaan terhadap martabat manusia tidak hanya sebatas perang saja. Justru kita bisa menemukan aneka macam penghinaan terhadap martabat manusia di dalam medan kehidupan kita saat ini. Inilah penjajahan/perhambaan yang berkembang sesudah kita merdeka. “Kemerdekaan pribadi masih terpasung” oleh kepentingan personal atau komunal tertentu. Kita bisa menemukan penjajahan/perhambaan yang berkembang saat ini. Dalam bidang ekonomi, perbudakan tenaga manusia demi keuntungan sebesar-besarnya. Tenaga kerja diperas tenaganya tanpa diperhatikan kesejahteraan dan kelayakan hidupnya sebagai manusia. Kekerasan di dalam rumah tangga yang mana majikan memperlakukan  pembantu/pelayannya secara tidak manusiawi dengan pemukulan, penyiraman dengan air raksa, ataupun kerja tanpa gaji. Dalam bidang moral, "hilangnya" kepatuan seseorang terhadap norma, aturan, tatanan hidup moral yang berlaku di dalam masyarakat seperti pelecehan seksual terhadap anak, pemerkosaan, atau bahkan "hilangnya" penghargaan terhadap kehidupan dengan pembunuhan. Dalam bidang politik, kekuasaan dan uang menjadi salah satu pemicu penyimpangan kehidupan sosial dan moral. Aneka cara dapat dibuat untuk melanggengkan posisi kekausaan. Permainan politik kotor menjadi "lingkaran setan" yang menjerat siapa saja. Ketika seseorang masuk dalam "lingkaran setan", pilihannya adalah ikut "bermain" atau keluar tanpa hasil apa-apa.
Inilah realitas kemerdekaan yang kita hadapi saat ini. Kemerdekaan yang masih menjadi “mimpi”.

Hidup sebagai medan perwujudan iman
Bagaimana kemerdekaan bisa kita maknai? Apakah kita hanya memaknai kemerdekaan Bangsa Indonesia saja atau kemerdekaan kita sendiri sebagai pribadi? Keduanya bisa kita pandang sebagai satu kesatuan. Kita bertanggungjawab untuk memperjuangkan kemerdekaan kita sebagai bangsa dan kemerdekaan kita sebagai pribadi.
Usaha kita dalam memperjuangkan kemerdekaan mestinya berangkat dari kesadaran pribadi ciptaan Tuhan. Ini bukan suatu loncat pikir atau proyeksi atas keterbatasan nalar kita tentang kemerdekaan melainkan usaha re-eksistensi sebagai manusia yang seutuhnya. Jika kita menyadari sebagai “Yang tercipta” oleh Tuhan maka kesadaran kesucian, keilahian, mestinya melekat dalam pola pikir kita sebagai manusia. Kesadaran itu dapat terwujud dalam penghargaan kita terhadap martabat manusia dengan memberikan penghormatan terhadap hak asasi (hak hidup) dan hak-hak lainnya.
Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk ambil bagian dalam memperjuangkan harkat dan martabat kemanusiaan. Pengalaman nenek moyang atau mungkin kita yang pernah menjadi korban perang, ketidakadilan, penindasan, tentu tidak akan kita ulangi di jaman sekarang atau bahkan kita buat secara sama bagi orang lain. Inilah tindakan reflektif kita sebagai orang yang beriman. Dalam kacamata katolik, apa yang dialami oleh Yesus merupakan kisah sejarah yang menghidupkan. Kehidupan Yesus merupakan suatu rangkaian yang bergerak dari inkarnasi (Sabda menjadi daging) menuju penderitaan dan penyaliban, dari penyaliban menuju kebangkitan. Dalam hidup kekinian, kita dipanggil untuk terus menghidupkan ingatan kisah hidup Yesus yang menghidupkan dan mewujudkannya di dalam kehidupan. Bagaimana kita melakukannya?
Hidup yang benar menjadi medan perwujudan iman yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang dibuat oleh Yesus merupakan tindakan cintaNya kepada manusia. Cinta yang hidup melalui perendahan diri, penderitaan, dan kematianNya di kayu salib. Cinta yang melewati batas-batas luka demi kebahagiaan manusia. Hidup dan karya Yesus adalah inspirasi kisah cinta yang sejati. Singkatnya, cinta Yesus adalah cinta yang memerdekakan. Bertolak dari refleksi ini, kita bisa memaknai hidup sebagai suatu cara mewujudkan cinta, yakni cinta yang menghidupkan, cinta yang membebaskan, dan cinta yang menyelamatkan. Kemerdekaan itu sendiri bisa terwujud bila kita bisa berbagi dan menghidupi cinta yang sejati. Hati yang mencintai berarti menolak pelecehan, penindasan, pembunuhan, ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Bagaimana kita memperjuangkan kemerdekaan kini? Mari kita menjalani peran kita dengan baik dan benar, mari memanusiakan sesama kita sebagai manusia dengan memberikan cinta yang menghidupkan, cinta yang membebaskan, dan cinta yang menyelamatkan. Inilah kemerdekaan kita, Bangsa Indonesia dan terutama diri kita sendiri.

Tidak ada komentar: