Setiap tanggal 17 Agustus, kita,
masyarakat Indonesia, merayakan syukur atas kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan
memiliki kata dasar merdeka. Menurut KBBI, merdeka berarti Pertama, bebas (dari
perhambaan, penjajahan), atau berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas
dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak
tertentu.
Merdeka berarti bebas dari perhambaan
atau penjajahan. Inilah yang dialami masyarakat Indonesia melalui kisah
sejarahnya. Sejarah kemerdekaan yang melukiskan suatu harapan akan kehidupan
yang lebih baik di waktu-waktu yang akan datang. Tepat pada tanggal 17 Agustus
1945, masyarakat Indonesia, melalui usaha para pejuang dan pendahulu kita,
telah membuka jalan kehidupan baru. Kehidupan yang bebas dari penjajahan bangsa
lain. Sejak kemerdekaan itu, kita terus bertumbuh dan berkembang menjadi bangsa
yang mandiri, yakni bangsa yang memperjuangkan kehidupan yang merdeka, mapan,
sejahtera tanpa belenggu bangsa lain.
Realitas kemerdekaan saat ini
Apakah kita benar-benar merdeka?
Jawabannya bisa Ya bisa TIDAK. Indonesia telah merdeka, kita semua
meng-amini-nya. Merdeka dari penjajahan dan belenggu bangsa lain. Akan tetapi
kita jangan berhenti melihat kemerdekaan dari definisi itu saja. Kita dapat
memperluas cara pandang kita mengenai kemerdekaan. Kalau seorang teolog,
Günthör melihat perang sebagai peristiwa penghinaan terhadap martabat manusia.
Kita bisa melihat penghinaan terhadap martabat manusia tidak hanya sebatas
perang saja. Justru kita bisa menemukan aneka macam penghinaan terhadap
martabat manusia di dalam medan kehidupan kita saat ini. Inilah penjajahan/perhambaan
yang berkembang sesudah kita merdeka. “Kemerdekaan pribadi masih terpasung”
oleh kepentingan personal atau komunal tertentu. Kita bisa menemukan
penjajahan/perhambaan yang berkembang saat ini. Dalam bidang ekonomi,
perbudakan tenaga manusia demi keuntungan sebesar-besarnya. Tenaga kerja
diperas tenaganya tanpa diperhatikan kesejahteraan dan kelayakan hidupnya
sebagai manusia. Kekerasan di dalam rumah tangga yang mana majikan
memperlakukan pembantu/pelayannya secara
tidak manusiawi dengan pemukulan, penyiraman dengan air raksa, ataupun kerja
tanpa gaji. Dalam bidang moral, "hilangnya" kepatuan seseorang
terhadap norma, aturan, tatanan hidup moral yang berlaku di dalam masyarakat
seperti pelecehan seksual terhadap anak, pemerkosaan, atau bahkan "hilangnya"
penghargaan terhadap kehidupan dengan pembunuhan. Dalam bidang politik,
kekuasaan dan uang menjadi salah satu pemicu penyimpangan kehidupan sosial dan
moral. Aneka cara dapat dibuat untuk melanggengkan posisi kekausaan. Permainan
politik kotor menjadi "lingkaran setan" yang menjerat siapa saja.
Ketika seseorang masuk dalam "lingkaran setan", pilihannya adalah
ikut "bermain" atau keluar tanpa hasil apa-apa.
Inilah realitas kemerdekaan yang kita
hadapi saat ini. Kemerdekaan yang masih menjadi “mimpi”.
Hidup sebagai medan perwujudan iman
Bagaimana kemerdekaan bisa kita maknai?
Apakah kita hanya memaknai kemerdekaan Bangsa Indonesia saja atau kemerdekaan
kita sendiri sebagai pribadi? Keduanya bisa kita pandang sebagai satu kesatuan.
Kita bertanggungjawab untuk memperjuangkan kemerdekaan kita sebagai bangsa dan
kemerdekaan kita sebagai pribadi.
Usaha kita dalam memperjuangkan
kemerdekaan mestinya berangkat dari kesadaran pribadi ciptaan Tuhan. Ini bukan
suatu loncat pikir atau proyeksi atas keterbatasan nalar kita tentang
kemerdekaan melainkan usaha re-eksistensi sebagai manusia yang seutuhnya. Jika
kita menyadari sebagai “Yang tercipta” oleh Tuhan maka kesadaran kesucian,
keilahian, mestinya melekat dalam pola pikir kita sebagai manusia. Kesadaran
itu dapat terwujud dalam penghargaan kita terhadap martabat manusia dengan
memberikan penghormatan terhadap hak asasi (hak hidup) dan hak-hak lainnya.
Sebagai orang beriman, kita dipanggil
untuk ambil bagian dalam memperjuangkan harkat dan martabat kemanusiaan. Pengalaman
nenek moyang atau mungkin kita yang pernah menjadi korban perang,
ketidakadilan, penindasan, tentu tidak akan kita ulangi di jaman sekarang atau
bahkan kita buat secara sama bagi orang lain. Inilah tindakan reflektif kita
sebagai orang yang beriman. Dalam kacamata katolik, apa yang dialami oleh Yesus
merupakan kisah sejarah yang menghidupkan. Kehidupan Yesus merupakan suatu
rangkaian yang bergerak dari inkarnasi (Sabda menjadi daging) menuju
penderitaan dan penyaliban, dari penyaliban menuju kebangkitan. Dalam hidup
kekinian, kita dipanggil untuk terus menghidupkan ingatan kisah hidup Yesus
yang menghidupkan dan mewujudkannya di dalam kehidupan. Bagaimana kita
melakukannya?
Hidup yang benar menjadi medan
perwujudan iman yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang dibuat oleh Yesus
merupakan tindakan cintaNya kepada manusia. Cinta yang hidup melalui perendahan
diri, penderitaan, dan kematianNya di kayu salib. Cinta yang melewati
batas-batas luka demi kebahagiaan manusia. Hidup dan karya Yesus adalah inspirasi
kisah cinta yang sejati. Singkatnya, cinta Yesus adalah cinta yang
memerdekakan. Bertolak dari refleksi ini, kita bisa memaknai hidup sebagai
suatu cara mewujudkan cinta, yakni cinta yang menghidupkan, cinta yang
membebaskan, dan cinta yang menyelamatkan. Kemerdekaan itu sendiri bisa
terwujud bila kita bisa berbagi dan menghidupi cinta yang sejati. Hati yang
mencintai berarti menolak pelecehan, penindasan, pembunuhan, ketidakadilan, dan
lain sebagainya.
Bagaimana kita memperjuangkan
kemerdekaan kini? Mari kita menjalani peran kita dengan baik dan benar, mari
memanusiakan sesama kita sebagai manusia dengan memberikan cinta yang
menghidupkan, cinta yang membebaskan, dan cinta yang menyelamatkan. Inilah
kemerdekaan kita, Bangsa Indonesia dan terutama diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar