Jumat, 12 Desember 2008
Air Mata SenJa
Konon, sejatinya manusia adalah ciptaan yang baik adanya. Dari hembusan debu diciptakannya manusia. Dan dari tulang rusuk sebelah kiri manusia pria, diciptakannya wanita sebagai pendamping hidupnya. Merekalah yang kita kenal sebagai manusia pertama. Dan merekalah yang mengawali keberadaannya sebagai wanita di dunia.
Inilah kisah anak manusia turunan Adam dan Hawa. Sayup redup tatapan matanya, tak seperti biasanya. Sikap diamnya menyisakan beribu tanya. Seperti redup cahaya, remang-remang adalah sisanya. Seolah layunya bunga sewaktu senja menyisakan kenangan atas warna dan aromanya.
Inilah kisah anak manusia turunan Adam dan Hawa. Hatinya riuh, seperti malam pertarungan yang menyisakan kesedihan, dan sungguh ironi, suara-suara jangkerik, binatang malam itu pun, tak lagi susah untuk di dengar. Ya, hatinya riuh dalam sendu dan bisu. Ia telah lama menanti kapan senja tiba. Seperti manusia pada umumnya, menunggu adalah saat-saat paling tidak disukainya. Bahwa senja akan membawa kekasihnya kembali ke pelukannya adalah harapan terbesarnya. Ya, hatinya riuh menanti dirinya. Kekasih yang telah menyematkan cinta dalam relung-relung hatinya, yang masih menyisakan luka atas cinta lama.
Saat-saat senja adalah waktu istimewa bagi dirinya. Meski terkadang membosankan, tetapi toh tak membuatnya jera. Ia merasa, kesetiaan adalah harta yang berharga. Dan ia percaya itu semua. Bahkan terkadang ia menciptakan trik-trik sederhana, sekedar untuk menepiskan kebosanan dirinya. Benar juga bahwa tak lama kemudian kebosanan itu tiba. Sontak ia berdiri, dan menghembuskannya perlahan. Sembari berfantasi bahwa akan tibalah keindahan yang ia nanti-nantikan. Hembusan itu adalah hembusan kekesalan, agar tak terus bercengkrama dalam hatinya yang pernah luka. Ia masih mencoba untuk setia pada cinta. Ia masih menanti bersama senja yang perlahan tiba.
Kini ia kembali duduk di beranda, tempat kesukaannya. Dibalik kesetiaan itu, ia sematkan secercah harapan bercampur rindu. Ia berharap, Ia lah orang pertama yang akan menyambut kehadirannya. Memeluk, mencium dan meneteskan air mata kebahagiaan yang telah berlinangan sepanjang senja penantian. Bersama guliran air mata yang berjatuhan membasahi kemeja biru muda. Ia menitipkan kenangan serta kesedihannya menanti kekasihnya sepanjang senja. Ini cara terbaik yang pernah ia lakukan, Karena ia sendiri tak pernah tahu kepada siapa bercerita, selain kepada senja.
Saat air matanya menetes bergantian, ia melihat kegetiran. Manakala menanti kekasihnya yang telah pergi, dan tak segera kembali. Kenangan itu-bersama kekasihnya- telah lama ia jaga. Tak lupa pula, Ia taburkan hiasan warna-warna, supaya tetap berkesan dihatinya. Sekalipun tak pernah terlintas untuk menyisihkan dia dari sudut hatinya. Karna sesungguhnya, sang kekasih telah mengisi hatinya…
”aku akan datang bersama matahari yang kembali menuju pusara
Bersama senja akan kubawakan cinta
Dan akan kuberikan hatiku sebagai kado istimewa
Tunggulah aku, saat hari beranjak senja…..”
Bisikan itu keras terdengar setiap senja tiba. Seakan menarik-narik dirinya untuk kembali menuju beranda, dan memerintahkannya duduk di sana. Begitulah, kata-kata itu mengikatnya menjadi semacam cinta. Apakah itu nyata, atau pelarian semata tak sedemikian dikenal olehnya. Namun yang pasti, cinta telah membodohi dirinya dan ia mengatakan, kesetiaan adalah yang utama. Kendati tak pernah diketahuinya kapan saat penantian itu akan berujung bahagia. Ya, ia tak pernah tahu jawabannya.
Hampir setiap senja, matanya berkaca-kaca penuh air mata. Airnya menetes bergantian bak hujan saat musim rendeng tiba. Air itu terus membasahi pipinya yang semakin kusam di makan usia. Dan Ia tak sadar, penantian telah menguras masa mudanya, berlalu tanpa makna.
Tengah malam
trie
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar