Jumat, 12 Desember 2008
Dari LeLaki unTUk SopHia
Sejatinya, manusia hanyalah bisa bercerita karena ia pernah mengalaminya. Selebihnya, adalah kebohongan belaka.
Selamat malam,
Cukup lama kisah ini terkubur bersama kesibukan yang datang silih berganti. Biarlah malam ini menjadi saksi atas kebisuan bertahun-tahun. Bersama hembusan angin pantai yang mengantarkan kesegaran dan menyisakan dingin yang mengigilkan setiap lekuk tubuh. Sebentar kita memandang ke samping kanan dan kiri. Ada seseorang yang tak begitu asing duduk menyebelahi kita. Tetapi waktu yang telah berlalu cukup lama, sedikit memberikan jarak yang tak pernah kita rencanakan sejak semula. Kecuali karena tuntutan peran kita sebagai manusia, yang harus belajar, yang harus bekerja demi cita-cita, atau yang harus pontang-panting mencari kerja, atau sekedar berdoa melarikan diri dari himpitan dunia.
Ini adalah cerita yang dikisahkan seorang lelaki pada Sophia, sahabatnya. Sebuah kisah yang tersebar di antara buku-buku kuliah di sebuah rumah yang hangat, dengan ruangan yang dilengkapi meja kecil dan lampu remang serta sebuah Kitab Suci lusuh dan robek tepinya (lelaki itu bukan aku loh); dengan dinding warna merah bata yang mulai berjamur di makan usia; dengan beberapa gambar bintang ternama, curt cobain yang berpelukan dengan gitar kesayangan, Linkin Park dengan stylenya yang garang, Avril yang berwajah riang, dan tak mau kalah Yesus pun turut terpajang ala bintang-bintang terkenal dalam berbagai pose yang menantang: main gitar, main basket, dan bawa handphone. Ada juga salib kecil tergantung di dinding yang dingin
Cerita cinta ini, sophia, datang dari kegelapan. Agar kamu percaya bahwa dalam kegelapan juga ada kisah cinta. Atau sedikit bercerita tentang pengharapan dari sebuah persahabatan, supaya kamu tahu dalam persahabatan ada sebuah pengharapan.
Adapun lelaki itu mengambil satu botol bekas, yang telah ia simpan lama dalam brankas miliknya. Dan secarik kertas usang melingkar di dalamnya. Meski demikian, tak terlihat kertas itu lecek atau sobek, tampaknya ia menjaga dan merawat botol beserta isinya dengan sangat baik, sebaik ia merawat dirinya. Tak lama kemudian, ia menghampiri sahabatnya, duduk dan membuka botol itu. Di dapatkan selembar kertas dari dalamnya. Ia pun mengeluarkan kertas itu dan membacakannya perlahan :
“Terima kasih telah menjadi sahabatku. Sahabat itu anugerah kan? Dan selayaknya anugerah, aku merasa tiba-tiba dihadiahi oleh Tuhan seorang kamu. Dengan Cuma-Cuma. Kini, kau akan pergi, mungkin untuk dihadiahkan lagi kepada orang lain yang—seperti juga diriku—akan dengan penuh rasa bahagia menjadi sahabatmu. Tak bisa tidak, aku hanya bisa bersyukur dan berdoa untukmu. Itu saja.
Tak bisa kuucapkan selamat tinggal. Sebab selamat tinggal adalah kata yang tidak menjanjikan apa-apa. Selamat tinggal adalah kata yang dalam bahasa manapun penuh kegetiran dan tanpa pengharapan. Padahal, aku selalu berharap persahabatan kita telah terjadi, meski jarak terbentang antara kenyataan dan mimpi. Aku masih di sini, berharap suatu hari kita akan bertemu lagi”.
Ia memandang Sophia, sahabatnya, dengan sedikit sayu.
“Ada sesuatu yang tertinggal saat perpisahan mendekat, Sophia, dan perpisahan adalah satu pilihan yang tak terelakkan”. Ungkap lelaki itu lirih.
“ Bagiku, pesan itu sungguh berarti. Setiap kali aku merindukan kehadiran seorang sahabat yang pernah ku temukan, aku baca pesan itu, kendati tak begitu sering. Dan setiap kali aku baca pesan itu, senyum kecil selalu tersisa dari wajahku. Intinya, aku bahagia memiliki seorang sahabat. Tak terkecuali kamu, Sophia, sahabatku”.
Tetapi waktu biarlah berlalu. Dan masa lalu adalah kebahagiaan yang tetap ada dalam hatiku. Kendati tak bisa ku elakkan bahwa kesedihan itupun pasti ada. Ah, melankolis banget, tidak apa-apa, toh, setiap manusia mempunyai perasaan semacam itu. Aku tak perlu malu bahwa terkadang aku kerap menangis seperti anak kecil yang minta minum dari tete ibunya. “IBu mimi..mimi..”, sambil merengek dan menarik-narik rok mini ibunya, dan sesekali bersembunyi di balik rok mini. Tetapi jangan berpikiran macam-macam, tak menggerayanginya loh. Ia kan masih kecil. Belum tahu ada apa di balik rok mini ibunya. Bahwa dari sanalah ia dilahirkan, hanya orang dewasalah yang tahu.
Sejak mendengar cerita lelaki itu, Sophia menjadi kagum dan mencintai persahabatan. Pernah suatu kali, secara tak sengaja ia membuka salah satu buku, yang tersusun rapi di atas meja lelaki itu. Kelihatan sudah lecek dan berdebu. Di sana Sophia menemukan sepenggal kalimat yang ditulis indah di halaman depan buku itu. “Semoga semua suka duka, pengalaman pahit dan menarik yang kita peroleh selama 3 tahun (pada waktu itu) tidak akan menguap dari memori kita. Perhatikanlah bahwa angkatan kita ini sungguh unik. Banyak perubahan yang terjadi dan yang kita buat. Di samping itu, renungkan juga ungkapan Zeigst Du, Was Hast Du. Semoga di dunia luar sana, kita mampu menunjukan diri sebagai murid Van LIth yang mempunyai visi dan misi tersendiri. Menjadi terang seperti bintang adalah wujud ideal yang diharapkan dari kita seperti tersimbolkan dalam wujud bintang yang bersinar terang berjumlah 9, identitas angkatan kita”. Buku Kenangan dengan angka Sembilan dan semboyan Zeigst Du, Was Has Du, 2002.
Ia melanjutkan kembali beberapa kalimat dibawahnya. Sophia mengira bahwa tulisan di bawahnya adalah tulisan miliknya
“Adalah benar bahwa setiap peristiwa menghadirkan makna, pun malam ini adalah salah satu kisah yang terangkai dari sekian peristiwa. Dan kisah ini, mungkin telah lama tersimpan rapi dan manis dalam sebotol sunyi. Terasing dari hiruk pikuknya kehidupan. Terdiam dalam kesendirian bersama rumput dan dedaunan yang berguguran.
Adalah manusia-manusia yang merangkai hari dalam bentuk persahabatan dari awal SMU hingga mencapai cita diri. Manusia-manusia yang bersahabat, yang berniat akan menghargai masing-masing pribadi sebagaimana alam selalu memihak ketulusan hati. Kalau di lain hari ternyata ada kisah kasih tersembunyi atau sebuah jiwa lara yang nyaris tak bersuara atau bahkan ada lagi yang berselingkuh mengingkari hati, itu adalah kembang dari banyak kerinduan yang mestinya di dengar, tidak begitu saja dilempar”.
Sophia tertegun. Ia membayangkan, bahwa persahabatan yang menjadi milik lelaki itu adalah harta istimewa baginya. Dan sekali lagi, Sophia menghabiskan waktu untuk membaca kisah persahabatan lelaki itu. Sophia berharap, bahwa ia memiliki persahabatan semacam itu. Persahabatan yang terukir dengan indah dalam hati dan tak lekas usang di makan usia.
Malam semakin larut, tidak seperti malam-malam sebelumnya. Sophia terbaring santai di atas kasur empuk miliknya. Dan seperti biasa, sebelum tidur Ia menyelipkan doa untuk Yesus yang sangat ia cinta
“Ya TUhan berilah aku mimpi
Malam ini
Tentang keindahan persahabatan
Yang akan kurasakan esok pagi”
Ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya SEJALAN dengan kita, kita bergabung dengannya dan jatuh kedalam suatu keanehan serupa yang dinamakan SAHABAT
Sahabat
Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan MASIH peduli terhadapnya
Adalah ketika dia tidak mampedulikanmu dan kamu MASIH menunggunya dengan setia (trie)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar